Follow me on Twitter RSS FEED

Pages

Supir Kejutan

Posted in

Akhirnya sampai juga di Jepara. Sekarang aku harus mencari pesantren yang tepat untuk mondok.
Setelah lama berkeliling kurasa aku menemukan pesantren yang tepat, namanya Pondok Pesantren Darun Faqih. Pondoknya besar, dan kata masyarakat sekitar pengasuh pondok ini sangat rendah hati meskipun beliau sangat kaya ilmu dan hartanya. Zaman sekarang sudah jarang ada kiai seperti itu. Kebanyakan kiai sekarang hanya mementingkan harta dari pada santri mereka sendiri. Mungkin ini kesempatan saya untuk mengambil barakah dari beliau.
Aku langsung menemui kiai di kediamannya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
“Kiai, nama saya Abdullah, saya mau mondok di sini.”
“O, silahkan. Kamu dari mana?”
“Cirebon, Kiai.”
“Jauh juga ternyata.”
“Mari, lihat-lihat pondok, untuk menentukan kamar yang kau sukai untuk ditinggali.”
“Kiai, kalau bisa, sambil belajar di pondok ini, saya juga ingin bantu-bantu di rumah Kiai. Apakah boleh?”
“Tentu saja boleh. Jarang-jarang ada santri sepert kamu Abdullah.”
“Terima kasih, Kiai.”
Ternyata benar yang dikatakan orang-orang, Kiai Saleh ini sangat rendah hati saat menerima tamu, walau pun tamunya hanya orang biasa seperti saya ini.
Setelah lihat-lihat pondok, aku menemukan tempat yang tepat untuk tinggal. Kamarnya dekat dengan masjid dan toilet. Ruangannya luas, nyaman untuk beristirahat. Udaranya pun sejuk, sangat nyaman untuk belajar dan menghafal. Dan orang-orangnya sangat ramah, sangat tepat untuk saling tukar menukar ilmu dan pengalaman. Sebenarnya tidak masalah untukku mau ditempatkan di kamar mana saja, tapi kalau disuruh memilih, tentu aku memilih kamar yang nyaman.
Keesokan harinya ada seorang santri yang kelihatannya mondoknya sudah lawas mencariku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
Apakah sampeyan Abdullah?”
“Iya, benar.”
“Saya disuruh Kiai untuk memanggil Mas ke rumahnya.”
“Baiklah, tunggu sebentar, Mas.”
Aku langsung berpakaian rapi untuk menemui Kiai. Tapi, ada apa Kiai memanggilku? Ah, jangan dipikirkan. Nanti juga aku tahu sendiri.
“Mas, ngomong-ngomong, nama Mas siapa?”
“Saya Ahmad, orang dalam Kiai.”
“Sudah berapa lama sampeyan mondok disini?”
“Kurang lebih lima belas tahun.”
“Wah, lama juga.”
Ketika sampai di kediaman Kiai, aku langsung ditemui Kiai.
“Abdullah, kamu bisa nyetir mobil nggak?” tanya Kiai kepadaku. Aku langsung kaget mendengarnya.
Alhamdulillah, saya bisa.”
“Kalau begitu kamu menjadi supir pribadi saya.”
“Memangnya tidak ada yang lain?” aku sedikit menolak, hanya basa-basi.
“Sebenarnya saya sendiri bisa nyetir, tapi saya sudah terlalu tua jadi pandangan saya sudah tidak fokus kalau melihat jalanan. Dan pembantu saya yang lain tidak ada yang bisa menyetir mobil.”
“Baiklah kalau begitu, dengan senang hati.”
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan senang sedikit kecewa. Sebenarnya bukan ini yang aku harapkan, tapi tak apalah, yang penting aku bisa mengambil barakah dari beliau.
Keesokan harinya Mas Ahmad kembali mencariku.
“Mas, sampeyan disuruh ke rumah Kiai.”
Ketika sampai Kiai menyuruhku mengantar beliau.
“Sekarang kamu antar saya ke Bumiayu, saya mau sillaturrahmi ke pondok Al-Hikmah, sudah lama saya tidak ke sana.”
Waduh!!! Aku langsung disuruh mengantar beliau ke Bumiayu. Sebenarnya aku sedang malas bepergian, tapi karena ini perintah dari Kiai, maka aku harus siap.
Aku menyetir mobil Kiai dengan sedikit canggung, bukan karena ini pertama kali aku menyetir mobil, tapi aku takut ditanya macam-macam. Takut ketahuan identitas asliku. Dan ternyata terjadi juga.
“Bapakmu kerja apa?” tanya Kiai yang membuat aku bingung menjawabnya.
“Mmm, petani Kiai,” aku terpaksa berbohong karena takut ketahuan idenitas asliku.
“Kamu belajar nyetir mobil dari mana?” tanya Kiai lagi.
“Dulu aku saya supir angkot,” aku terpaksa berbohong lagi.
“Jadi supir angkot bisa dapat SIM?”
Alhamdulillah, bisa.”
“Sebagai anak muda, caramu menyetir enak juga dan tidak ugal-ugalan. Supirku dulu sering menyetir ugal-ugalan.”
“Terima kasih, Kiai.”
Tak terasa kami sudah sampai di pondok Al-Hikmah. Untung saja aku hafal jalan dari Jepara ke Bumiayu, kalu tidak, bisa gawat. Sementara Kiai masuk ke pondok aku hanya menunggu di luar. Tak apa, kalau masuk ke dalam takutnya aku hanya membuat malu saja. Sambil menunggu tak ada salahnya berkeliling sebentar, jajan di warung dan sebagainya. Ada hikmahnya juga menjadi supir, apalagi supir kiai besar seperti Kiai Saleh.
“Ayo kita pulang, Abdullah,” tiba-tiba suara Kiai yang lembut mengagetkan lamunanku.
“Baik, Kiai,” jawabku singkat.
Di perjalanan pulang, kami mampir di warung nasi yang lumayan besar dan makanannya enak-enak. Kami pun makan bersama. Satu lagi hikmah yang bisa dipetik dari pekerjaan menjadi supir, yaitu menjadi lebih akrab dengan kiai.
“Kapan-kapan kalau saya mau pergi ke Bandung atau Jakarta, mampir ke rumah kamu ya.”
Sial, ternyata yang aku khawatirkan bisa terjadi juga. Ya sudah lihat nanti saja, kalau memang sudah harus bertemu mau gimana lagi.
Pada suatu hari Jum’at, jam sebelas siang, aku pergi ke sumur santri untuk mandi sunnah Jum’at. Setelah setelai aku berpakaian. Dan jam setengah dua belas aku baru berangkat ke masjid. Dan tiba-tiba seorang santri mengagetkanku.
“Mas, supir saja pakaiannya gaya,” katanya.
Memang untuk shalat Jum’at kali ini aku terlalu bergaya dengan mengenakan jas dan sarung “BHS”. Aku jadi malu.
“Ini pakaian pemberian tetangga, aku dikasih sebelum berangkat kesini,” dan aku berbohong lagi.
Sebenarnya pakaian ini memang punyaku, aku mengatakan demikian karena tidak mau sombong. Semoga Allah mengampuni omonganku. Amin.
Selama aku mondok di sini aku tidak hanya menjadi supir. Tapi juga menjadi tukang cuci mobil. Tapi, keistimewaannya adalah aku dibebaskan untuk mengambil makan di belakang rumah Kiai Saleh.
“Mas, dipanggil Kiai,” kata Mas Ahmad.
“Ada apa?” tanyaku.
“Gak tahu, Mas. Kayaknya sih disuruh nyupir.”
Aku langsung menuju kediaman Kiai Saleh. Ternyata benar apa yang dikatakan Mas Ahmad.
“Antar saya ke Bandung, tapi sebelumnya mampir dulu ke rumahmu. Kamu hafal jalannya ‘kan?”
“Hafal, Kiai.”
“Silahkan ke kamar dulu, siap-siap.”
Waduh!! Sial!! Harus dimampirkan ke mana Kiai Saleh ini. Mungkin ini sudah waktunya Kiai Saleh bertemu keluargaku.
Ketika sampai Cirebon, karena aku sudah capek berbohong, aku langsung menyusuri jalan menuju rumahku di desa Babakan Ciwaringin Cirebon.
“Lho, ini daerah pesantren?” kata Kiai keheranan.
Setelah sampai rumah, aku mempersilahkan Kiai masuk. Tapi, beliau masih heran karena yang beliau masuki adalah rumah Kiai Muhammad, salah satu kiai terkemuka di daerah setempat.
Sebenarnya aku adalah putra Kiai Muhammad. Aku sengaja menyembunyikan identitasku supaya aku bisa merasakan bagaimana rasanya hidup sebagai seorang pembantu kiai. Dan sekarang aku sudah tahu rasanya.
“Kiai, ini ayah saya, Kiai Muhammad,” aku memperkenalkan ayahku kepada Kiai Saleh yang ternyata mereka berdua sudah saling kenal.
“Jadi, anakku Abdullah mondok di pondok sampeyan,” ayahku kaget setelah mendengar cerita dari Kiai Saleh.
“Benar, dan anakmu luar biasa, dia tidak sombong kepada santri-santri lain karena dia anak kiai besar. Ngomong-ngomong kenapa sampeyan tidak tahu di mana anak sampeyan mondok?” tanya Kiai Saleh kepada ayahku.
“Aku tidak tahu karena dia bilang dia ingin berkelana sambil mondok di suatu tempat,” jawab ayahku.
“Pantas saja.”
Sementara mereka berdua asyik berbincang-bincang, aku minta diri kepada ayahku untuk menemui adik-adikku tercinta. Aku sudah kangen kepada mereka.
“Mas, maaf saya harus cepat pergi, saya ada urusan di Bandung dan sekarang saya harus ke sana,” kata Kiai Saleh mengakhiri obrolan.
“Kalau begitu silahkan, semoga selamat di jalan.”
“Sebelumnya saya minta maaf menjadikan anak sampeyan supir.”
“Tidak apa-apa, saya malah senang karena dengan membantu kiai lain anak saya menjadi tidak sombong.”
“Wassalamualaikum.”
“Walaikum Salam.”
Setelah Kiai Saleh yang berpamitan kepada ayahku, kini giliranku. Setelah pamit, aku meminta maaf kepada Kiai Saleh.
“Kiai, maafkan saya karena saya banyak berbohong kepada Kiai.”
“Tidak apa-apa, saya malah senang punya santri seperti kamu.”
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Bandung dan kembali ke Jepara.
Setelah Kiai Saleh bertemu keluargaku, kehidupanku di pondok menjadi sedikit berubah. Biasanya aku mengambil makananku sendiri, sekarang malah makanannya diantarkan kepadaku.

0 komentar:

Posting Komentar

Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...