Posted in
Cerpen
Akhirnya
sampai juga di Jepara. Sekarang aku harus mencari pesantren yang tepat untuk
mondok.
Setelah
lama berkeliling kurasa aku menemukan pesantren yang tepat, namanya Pondok
Pesantren Darun Faqih. Pondoknya besar, dan kata masyarakat sekitar pengasuh
pondok ini sangat rendah hati meskipun beliau sangat kaya ilmu dan hartanya.
Zaman sekarang sudah jarang ada kiai seperti itu. Kebanyakan kiai sekarang
hanya mementingkan harta dari pada santri mereka sendiri. Mungkin ini
kesempatan saya untuk mengambil barakah dari beliau.
Aku
langsung menemui kiai di kediamannya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
Salam.”
“Kiai,
nama saya Abdullah, saya mau mondok di sini.”
“O,
silahkan. Kamu dari mana?”
“Cirebon,
Kiai.”
“Jauh
juga ternyata.”
“Mari,
lihat-lihat pondok, untuk menentukan kamar yang kau sukai untuk ditinggali.”
“Kiai,
kalau bisa, sambil belajar di pondok ini, saya juga ingin bantu-bantu di rumah
Kiai. Apakah boleh?”
“Tentu
saja boleh. Jarang-jarang ada santri sepert kamu Abdullah.”
“Terima
kasih, Kiai.”
Ternyata
benar yang dikatakan orang-orang, Kiai Saleh ini sangat rendah hati saat
menerima tamu, walau pun tamunya hanya orang biasa seperti saya ini.
Setelah
lihat-lihat pondok, aku menemukan tempat yang tepat untuk tinggal. Kamarnya
dekat dengan masjid dan toilet. Ruangannya luas, nyaman untuk beristirahat.
Udaranya pun sejuk, sangat nyaman untuk belajar dan menghafal. Dan
orang-orangnya sangat ramah, sangat tepat untuk saling tukar menukar ilmu dan
pengalaman. Sebenarnya tidak masalah untukku mau ditempatkan di kamar mana
saja, tapi kalau disuruh memilih, tentu aku memilih kamar yang nyaman.
Keesokan
harinya ada seorang santri yang kelihatannya mondoknya sudah lawas
mencariku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
Salam.”
“Apakah sampeyan
Abdullah?”
“Iya,
benar.”
“Saya
disuruh Kiai untuk memanggil Mas ke rumahnya.”
“Baiklah,
tunggu sebentar, Mas.”
Aku
langsung berpakaian rapi untuk menemui Kiai. Tapi, ada apa Kiai memanggilku?
Ah, jangan dipikirkan. Nanti juga aku tahu sendiri.
“Mas,
ngomong-ngomong, nama Mas siapa?”
“Saya
Ahmad, orang dalam Kiai.”
“Sudah
berapa lama sampeyan mondok disini?”
“Kurang
lebih lima belas tahun.”
“Wah,
lama juga.”
Ketika
sampai di kediaman Kiai, aku langsung ditemui Kiai.
“Abdullah,
kamu bisa nyetir mobil nggak?” tanya Kiai kepadaku. Aku langsung kaget
mendengarnya.
“Alhamdulillah,
saya bisa.”
“Kalau
begitu kamu menjadi supir pribadi saya.”
“Memangnya
tidak ada yang lain?” aku sedikit menolak, hanya basa-basi.
“Sebenarnya
saya sendiri bisa nyetir, tapi saya sudah terlalu tua jadi pandangan saya sudah
tidak fokus kalau melihat jalanan. Dan pembantu saya yang lain tidak ada yang
bisa menyetir mobil.”
“Baiklah
kalau begitu, dengan senang hati.”
Aku
kembali ke kamarku dengan perasaan senang sedikit kecewa. Sebenarnya bukan ini
yang aku harapkan, tapi tak apalah, yang penting aku bisa mengambil barakah
dari beliau.
Keesokan
harinya Mas Ahmad kembali mencariku.
“Mas,
sampeyan disuruh ke rumah Kiai.”
Ketika
sampai Kiai menyuruhku mengantar beliau.
“Sekarang
kamu antar saya ke Bumiayu, saya mau sillaturrahmi ke pondok Al-Hikmah, sudah
lama saya tidak ke sana.”
Waduh!!!
Aku langsung disuruh mengantar beliau ke Bumiayu. Sebenarnya aku sedang malas
bepergian, tapi karena ini perintah dari Kiai, maka aku harus siap.
Aku
menyetir mobil Kiai dengan sedikit canggung, bukan karena ini pertama kali aku
menyetir mobil, tapi aku takut ditanya macam-macam. Takut ketahuan identitas
asliku. Dan ternyata terjadi juga.
“Bapakmu
kerja apa?” tanya Kiai yang membuat aku bingung menjawabnya.
“Mmm,
petani Kiai,” aku terpaksa berbohong karena takut ketahuan idenitas asliku.
“Kamu
belajar nyetir mobil dari mana?” tanya Kiai lagi.
“Dulu
aku saya supir angkot,” aku terpaksa berbohong lagi.
“Jadi
supir angkot bisa dapat SIM?”
“Alhamdulillah,
bisa.”
“Sebagai
anak muda, caramu menyetir enak juga dan tidak ugal-ugalan. Supirku dulu sering
menyetir ugal-ugalan.”
“Terima
kasih, Kiai.”
Tak
terasa kami sudah sampai di pondok Al-Hikmah. Untung saja aku hafal jalan dari
Jepara ke Bumiayu, kalu tidak, bisa gawat. Sementara Kiai masuk ke pondok aku
hanya menunggu di luar. Tak apa, kalau masuk ke dalam takutnya aku hanya
membuat malu saja. Sambil menunggu tak ada salahnya berkeliling sebentar, jajan
di warung dan sebagainya. Ada hikmahnya juga menjadi supir, apalagi supir kiai
besar seperti Kiai Saleh.
“Ayo
kita pulang, Abdullah,” tiba-tiba suara Kiai yang lembut mengagetkan lamunanku.
“Baik,
Kiai,” jawabku singkat.
Di
perjalanan pulang, kami mampir di warung nasi yang lumayan besar dan makanannya
enak-enak. Kami pun makan bersama. Satu lagi hikmah yang bisa dipetik dari pekerjaan
menjadi supir, yaitu menjadi lebih akrab dengan kiai.
“Kapan-kapan
kalau saya mau pergi ke Bandung atau Jakarta, mampir ke rumah kamu ya.”
Sial,
ternyata yang aku khawatirkan bisa terjadi juga. Ya sudah lihat nanti saja,
kalau memang sudah harus bertemu mau gimana lagi.
Pada
suatu hari Jum’at, jam sebelas siang, aku pergi ke sumur santri untuk mandi
sunnah Jum’at. Setelah setelai aku berpakaian. Dan jam setengah dua belas aku
baru berangkat ke masjid. Dan tiba-tiba seorang santri mengagetkanku.
“Mas,
supir saja pakaiannya gaya,” katanya.
Memang
untuk shalat Jum’at kali ini aku terlalu bergaya dengan mengenakan jas dan
sarung “BHS”. Aku jadi malu.
“Ini
pakaian pemberian tetangga, aku dikasih sebelum berangkat kesini,” dan aku
berbohong lagi.
Sebenarnya
pakaian ini memang punyaku, aku mengatakan demikian karena tidak mau sombong.
Semoga Allah mengampuni omonganku. Amin.
Selama
aku mondok di sini aku tidak hanya menjadi supir. Tapi juga menjadi tukang cuci
mobil. Tapi, keistimewaannya adalah aku dibebaskan untuk mengambil makan di
belakang rumah Kiai Saleh.
“Mas,
dipanggil Kiai,” kata Mas Ahmad.
“Ada
apa?” tanyaku.
“Gak
tahu, Mas. Kayaknya sih disuruh nyupir.”
Aku
langsung menuju kediaman Kiai Saleh. Ternyata benar apa yang dikatakan Mas
Ahmad.
“Antar
saya ke Bandung, tapi sebelumnya mampir dulu ke rumahmu. Kamu hafal jalannya
‘kan?”
“Hafal,
Kiai.”
“Silahkan
ke kamar dulu, siap-siap.”
Waduh!!
Sial!! Harus dimampirkan ke mana Kiai Saleh ini. Mungkin ini sudah waktunya
Kiai Saleh bertemu keluargaku.
Ketika
sampai Cirebon, karena aku sudah capek berbohong, aku langsung menyusuri jalan
menuju rumahku di desa Babakan Ciwaringin Cirebon.
“Lho,
ini daerah pesantren?” kata Kiai keheranan.
Setelah
sampai rumah, aku mempersilahkan Kiai masuk. Tapi, beliau masih heran karena
yang beliau masuki adalah rumah Kiai Muhammad, salah satu kiai terkemuka di
daerah setempat.
Sebenarnya
aku adalah putra Kiai Muhammad. Aku sengaja menyembunyikan identitasku supaya
aku bisa merasakan bagaimana rasanya hidup sebagai seorang pembantu kiai. Dan
sekarang aku sudah tahu rasanya.
“Kiai,
ini ayah saya, Kiai Muhammad,” aku memperkenalkan ayahku kepada Kiai Saleh yang
ternyata mereka berdua sudah saling kenal.
“Jadi,
anakku Abdullah mondok di pondok sampeyan,” ayahku kaget setelah mendengar
cerita dari Kiai Saleh.
“Benar,
dan anakmu luar biasa, dia tidak sombong kepada santri-santri lain karena dia
anak kiai besar. Ngomong-ngomong kenapa sampeyan tidak tahu di mana anak
sampeyan mondok?” tanya Kiai Saleh kepada ayahku.
“Aku
tidak tahu karena dia bilang dia ingin berkelana sambil mondok di suatu
tempat,” jawab ayahku.
“Pantas
saja.”
Sementara
mereka berdua asyik berbincang-bincang, aku minta diri kepada ayahku untuk
menemui adik-adikku tercinta. Aku sudah kangen kepada mereka.
“Mas,
maaf saya harus cepat pergi, saya ada urusan di Bandung dan sekarang saya harus
ke sana,” kata Kiai Saleh mengakhiri obrolan.
“Kalau
begitu silahkan, semoga selamat di jalan.”
“Sebelumnya
saya minta maaf menjadikan anak sampeyan supir.”
“Tidak
apa-apa, saya malah senang karena dengan membantu kiai lain anak saya menjadi
tidak sombong.”
“Wassalamualaikum.”
“Walaikum
Salam.”
Setelah
Kiai Saleh yang berpamitan kepada ayahku, kini giliranku. Setelah pamit, aku
meminta maaf kepada Kiai Saleh.
“Kiai,
maafkan saya karena saya banyak berbohong kepada Kiai.”
“Tidak
apa-apa, saya malah senang punya santri seperti kamu.”
Kemudian
kami melanjutkan perjalanan ke Bandung dan kembali ke Jepara.
Setelah
Kiai Saleh bertemu keluargaku, kehidupanku di pondok menjadi sedikit berubah.
Biasanya aku mengambil makananku sendiri, sekarang malah makanannya diantarkan
kepadaku.