Posted in
Cerpen
Suatu
hari seorang doktor dari Amerika sedang kebingungan mencari kebenaran tentang
agama. Ia mencari ke sana kemari agama apakah yang paling benar. Ia bernama
John Wiseman. Ia dilahirkankan dari keluarga Kristen. Meskipun keluarganya
Kristen, tapi Ia tidak begitu yakin bahwa agama yang dianutnya adalah agama
yang paling benar. Oleh karena itu dia sedang dalam perjalanan mencari agama
yang paling benar.
Dalam
rangka mencari agama dia telah mengunjungi beberapa negara. Dan kebetulan sekarang
dia berada di Indonesia. Sebagai seorang yang berintelektual tinggi, John
lumayan mengetahui sejarah negara Indonesia yang dahulunya beragama Hindu dan
Budha kemudian datang agama Islam.
Karena
sekarang Indonesia mayoritas agama Islam, Ia sering kali mendengar suara adzan
yang berkumandang lima kali sehari di mana-mana. Ia merasa bahwa adzan sangat
indah untuk didengarkan. Oleh karena itu Ia tertarik mempelajari Islam terlebih
dahulu. Ia langsung mencari informasi tentang Islam.
“Excusme,
can you speak English, Sir?” [1] tanyanya
kepada seseorang yang sedang menunggu bis di pinggir jalan.
“Yes,
I can. Can I help you?” [2] jawabnya.
“My
name’s John, John Wiseman. I came from America. And I wanna learn about Islam,[3]” dari kata yang
digunakannya terlihat dia orang Amerika.
“I
think you should got to Cirebon city in West Java, and then you can find
Babakan village. And there you can learn about Islam.” [4]
“Thank’s,
Sir.”[5]
“You’re
welcome.”
Ia
mendapat informasi bahwa untuk mempelajari agama Islam Ia harus pergi ke
Cirebon, tepatnya Babakan Ciwaringin Cirebon. Mendengar informasi itu, Ia
langsung pergi ke tempat yang ditunjukan.
Sesampainya
di Babakan, Ia langsung mencari guru yang tepat untuk mengajarkan Islam
kepadanya. Bertemulah Ia dengan Ustadz Shidiq. Ustadz Shidiq adalah seorang
ustadz yang sangat luas ilmunya. Setelah lulus sekolah tingkat aliyah di desa
setempat, beliau melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo. Di samping
beliau fasih bahasa Arab, beliau juga pandai bahasa Inggris. Oleh karena itu
beliau bia dengan leluasa berbincang-bincang dengan John.
“Excusme,
can you speak English, Sir?” tanya John kepada Ustadz Shidiq.
“Sure.
What can I do for you, Mister?”[6] jawab Ustadz
Shidiq yang kemudian beliau balik bertanya.
“I
got an information that in here I can learn about islam. Is that true?[7]”
“That
is right.”[8]
“Okay,
can you teach me?”[9]
“Of
course, with plesure.”[10]
“Thank
you very much. I’m John, by the way, John Wiseman. I came from America.”[11]
“Nice
to meet you. My name is Shidiq, peoples called me Ustadz Shidiq.”[12]
"Alright,
Ustadz Shidiq. When I can meet you again?"[13]
"What
about tomorrow?"[14]
"That's
a good idea."[15]
"By
the way, where do you live now?"[16]
"I
don't have place for live now, but i'll find it soon."[17]
"Well,
you can live in my house."[18]
"Really?"[19]
"Yeah,
with pleasure."[20]
"Thank
you very much."[21]
"You're
welcome."[22]
Setelah
berkenalan, mereka berdua berjalan bersama menuju rumah Ustadz Shidiq.
Sesampainya di rumah Ustadz Shidiq, John diperkenalkan dengan keluarga Ustadz
Shidiq. Bagi John, keluarga Ustadz Shidiq sangat ramah. Mereka hidup bahagia
meski pun ekonomi keluarga mereka tidak sebaik John di Amerika.
Keesokan
harinya Ustadz Shidiq mulai mengajari John tentang Islam.
"Alright,
John, this is your first time learn about Islam, but before, you must say
'syahadat'."[23]
"What
is 'syahadat'?"[24]
"‘Syahadat’ is a two-sentence
which is a requirement to convert to Islam."[25]
“Okay,
what’s the first sentence?”[26]
“Reapet
after me, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’.”[27]
“Asyhadu
alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.”
“Good,
Now you've officially become a Moslem. Congratulation.”[28]
“Thank You.”
"The
daily worship."[30]
“Okay,
you got it,”[31]
Selanjutnya
John belajar ibadah sehari-hari. Ustadz Shidiq mengajarinya secar detil, bahkan
tata cara ibadah menurut madzahibul arba’ah pun beliau ajarkan
kepadanya.
Sepintas
apa yang dilakukan Ustadz Shidiq kepada John adalah benar, tapi ternyata tidak.
Beliau melewatkan ilmu yang paling pokok dari segala ibadah, yaitu tauhid.
Tidak ada gunanya seseorang beribadah tanpa mengenal apa yang mereka sembah,
tidak tahu sifat wajib-Nya, sifat mustahil dan jaiz-Nya. Yang timbul hanyalah
kehampaan dan kebingungan dalam hati mereka yang tidak mengenal Tuhan mereka. Mereka pada
akhirnya akan bertanya-tanya seperti apakah wujud Allah yang sebenarnya.
Padahal pertanyaan seperti itu sangat dilarang dalam ilmu tauhid. Dan pada
akhirnya imannya goyah. Dan itulah yang terjadi pada diri John Wiseman setelah
tiga bulan menjadi murid Ustadz Shidiq.
Setiap
malam John hanya berpikir bagaimana wujud Allah yang sesungguhnya. Di saat
seperti itu Ia jadi teringat Tuhannya yang dulu. Memang salib sangat gampang
dilihat. Tapi inilah yang perlu kita imani dalam hati. Meski pun kita belum
bisa melihat Tuhan kita, tapi kita harus tetap percaya kepada-Nya. Karena Dia
ada bersama kita di setiap hembus nafas kita.
Akhirnya,
John Wiseman mengadukan keluhannya kepada Ustadz Shidiq.
“Ustadz
Shidiq, I wanna say something.”[32]
“Okay,
what’s that?”[33]
"After
all these months, you teach me about Islam. And now I'm getting confused. Before
I pray to God, I had to think first of which one should I choose. And it made
me more confused. And I decided to leave Islam and i'll search other
religions easier to understand. Maybe this made your heart broke, but I've
thought about it carefully, since the first time you teach me to say
‘shahadat’. I'm so sorry."[34]
Mendengar
kata-kata John, Ustadz Shidiq membisu, beliau tidak bisa berkata apa-apa.
Akhirnya beliau pun mengikhlaskannya.
Pelajarannya
adalah siapa pun orangnya, apa pun gelar akademiknya, seberapa pun kuat
tekadnya belajar Islam, yang pertama harus diajarkan adalah ilmu dasar, yaitu
tauhid. Mengajarkannya pun harus dengan hati. Jangan sampai muallaf yang kita
ajari mengalami kebingungan seperti John Wiseman yang akhirnya kembali kepada
agamanya yang dulu.
Based On True Story
[1]
“Permisi, apakah anda bisa bicara bahasa Inggris, Pak?”
[2] “Ya,
saya bisa. Bisakah saya membantu anda?”
[3] “Nama
saya John, John Wiseman. Saya berasal dari Amerika. Dan saya ingin belajar
tentang Islam.”
[4] “Saya
pikir anda harus pergi ke Cirebon di Jawa Barat, dan kemudian anda bisa
menemukan desa Babakan. Dan disana anda bisa belajar tentang Islam.”
[5] “Terima
Kasih, Pak.”
[6] “Tentu.
Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, Tuan?”
[8] “Itu
benar.”
[9]
“Baiklah. Bisakah kau mengajariku?”
[10] “Tentu
saja, dengan senang hati.”
[11] "Terima kasih banyak. Ngomong-ngomong, nama saya John, John Wiseman. Saya datang dari
Amerika.”
[13]
“Baiklah, Ustadz Shidiq. Kapan saya bisa menemui anda lagi?”
[14]
“Bagaimana kalau besok?”
[15] “Ide
bagus.”
[16]
“Ngomong-ngomong, di mana anda tinggal sekarang?”
[17] “Saya
belum punya tempat tinggal, tapi saya akan segera menemukannya.”
[18] “Nah,
anda bisa tinggal di rumah saya.”
[19]
“Benarkah?”
[20] “Ya,
dengan senang hati.”
[21] “Terima
kasih banyak.”
[22]
“Sama-sama.”
[23]
“Baiklah, John, ini kali pertamamu mempelajari Islam, tapi sebelumnya kau haus
mengucapkan ‘syahadat’.”
[24] “Apa
itu ‘syahadat’?”
[25]
“’Syahadat’ adalah dua kalimat yang mana itu adalah syarat untuk masuk Islam.”
[26]
“Baiklah, bagaimana kalimat pertamanya?”
[27] “Ikuti
ucapanku, ‘Asyhadu alla ilaha allallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’.”
[28] “Bagus,
sekarang kau sudah resmi masuk Islam. Selamat.”
[29]
“Sekarang, apa yang ingin kau pelajari?”
[30] “Ibadah
sehari-hari.”
[31]
“Baiklah, kau mendapatkannya.”
[32] “Ustadz
Shidiq, aku ingin mengatakan sesuatu.”
[33] “Apa
itu?”
[34]
“Setelah beberapa bulan ini, kau mengajariku tentang Islam. Dan sekarang aku
semakin bingung. Sebelum aku beribadah kepada Tuhan, terlebih dahulu aku harus
berpikir mazhab mana yang harus kupilih. Dan itu membuatku semakin bingung. Dan
aku memutuskan untuk keluar dari Islam dan aku akan mencari agama lain yang
lebih mudah dimengerti. Mungkin ini membuatmu sakit hati, tapi aku telah
memikirkannya matang-matang, sejak pertama kali kau mengajariku mengucapkan
‘syahadat’. Aku sangat minta maaf.”