Posted in
Cerpen
Di antara putra-putra Kiai Saleh, pengasuh pesantren “Sabilul Muttaqin”, dan sesepuh daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga keluar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi memerlukan showan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh.
Kata Kang Solikin yeng dekat dengan keluarga (ndalem), bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu ini. “Kata Kiai, Gus Jakfar lebih tua dari pada beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putra bungsu Kiai Saleh itu.
“Saya sendiri tidak paham apa maksudnya. Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho, sekali saja melihat kening orang, kok langsung bisa membaca rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang Sabrang ‘kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang melamar ya ?’. Tak lama kemudian orang Sabrang itu datang melamarnya.”
“Kang Kandar juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet. “Kalian ‘kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”
“Ya, waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil. “Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
“Saya malah mengalaminya sendiri,” kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. “Waktu itu tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang sama saya, ‘Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol, sudah dapat proyek ya?’ Padahal saat itu saku saya sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat provinsi.”
“Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf ?” tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar, takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
Maka ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger, terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tidak mau membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat berbau ramalan. Ringkas kata, beliau dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan.
“Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau? Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu,” kata Lik Salamun. “Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau berubah”.
“Tapi, bagaimana pun ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil. “Paling tidak kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was, bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum’at sehabis wiridan shalat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban dengan Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol kesana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan.
“Gus, di samping sillaturrahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan siakp sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan ‘kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet. “Kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya dia melanjutkan.
“Ceritanya panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. “Kalian ingat, saya lama menghilang?” Akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk.
“Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari wali seorang sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar dua ratus kilo meter ke arah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya lebih dari seratus tahun itu. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerahnya masing-masing.”
“Terus terang, sejak mimpi itu saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Kiai Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk.
‘Cobalah nak mas ikuti jalan setapak di sana itu,’ katanya. ‘Nanti nak mas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nak mas menyeberang. Begitu sampai seberang, nak mas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nak mas cari akan nak mas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nak mas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nak mas sebut Kiai siapa tadi?’ ‘Kiai Tawakkal.’ ‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itu orangnya, Mbah Jogo.’”
“Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah dari bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya saja ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi ‘Ahli Neraka’. Astagfirullah! Saya belum pernah selama ini melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, disegani banyak kiai lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai lain; mengimami shalat jamaah, melakukan shalat-shalat sunah seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya. Mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar), mujahadah, dzikir malam, menemui tamu dan sebagainya. Kalau pun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali-mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu, tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu tinggal di ‘pesantren bambu’ saya mendapatkan kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam bulan purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang, tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi, saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tidak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita yang satu masih muda dan yang satunya agak lebih tua dengan dandanan menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ Tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan pikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser. ‘Kasih kawan saya ini tempat sedikit!’ Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya’. Mereka yang duduknya dekat serat merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah, sementara yang jauh melambaikan tangan.”
“Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba Kiai menawari, ‘Minum kopi ya?!’. Saya mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi, Yu!’ kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silahkan! Ini namanya Rondo Royal, tape goreng kebanggaan warung ini.’ Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian ayik kembali dengan kawan-kawannya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian, bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah.”
“‘Mas, sudah larut malam,’ tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. ‘Kita pulang yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, ‘Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja,’ katanya.”
“Kami melewati pematang, menerobos hutan dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang, saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita istirahat sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. ‘Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’ Setelah saya duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan. ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apa kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak usah bersusah payah mencari bukti yang menunjukan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan dari kalbumu yang bening. Kedua, kau ‘kan tahu, sebagaimana neraka dan surga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke surga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke surga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarmu ke surga kelak? Atau kau berani mengatakan orang-orang di warung yang tadi yang kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’ Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri mereka. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.’
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. ‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir, nyatanya saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar adzan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi suaru itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah shalat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, ‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya. Ketika saya mengiyakan orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini titipan dari Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’ ‘Beliau di mana?’ tanya saya buru-buru. ‘Mana saya tahu.’ jawabnya. ‘Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu di mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.’ Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri.”
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam dan tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.
Kata Kang Solikin yeng dekat dengan keluarga (ndalem), bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu ini. “Kata Kiai, Gus Jakfar lebih tua dari pada beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putra bungsu Kiai Saleh itu.
“Saya sendiri tidak paham apa maksudnya. Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho, sekali saja melihat kening orang, kok langsung bisa membaca rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang Sabrang ‘kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang melamar ya ?’. Tak lama kemudian orang Sabrang itu datang melamarnya.”
“Kang Kandar juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet. “Kalian ‘kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”
“Ya, waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil. “Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
“Saya malah mengalaminya sendiri,” kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. “Waktu itu tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang sama saya, ‘Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol, sudah dapat proyek ya?’ Padahal saat itu saku saya sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat provinsi.”
“Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf ?” tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar, takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
Maka ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger, terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tidak mau membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat berbau ramalan. Ringkas kata, beliau dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan.
“Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau? Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu,” kata Lik Salamun. “Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau berubah”.
“Tapi, bagaimana pun ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil. “Paling tidak kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was, bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum’at sehabis wiridan shalat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban dengan Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol kesana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan.
“Gus, di samping sillaturrahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan siakp sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan ‘kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet. “Kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya dia melanjutkan.
“Ceritanya panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. “Kalian ingat, saya lama menghilang?” Akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk.
“Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari wali seorang sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar dua ratus kilo meter ke arah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya lebih dari seratus tahun itu. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerahnya masing-masing.”
“Terus terang, sejak mimpi itu saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Kiai Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk.
‘Cobalah nak mas ikuti jalan setapak di sana itu,’ katanya. ‘Nanti nak mas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nak mas menyeberang. Begitu sampai seberang, nak mas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nak mas cari akan nak mas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nak mas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nak mas sebut Kiai siapa tadi?’ ‘Kiai Tawakkal.’ ‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itu orangnya, Mbah Jogo.’”
“Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah dari bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya saja ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi ‘Ahli Neraka’. Astagfirullah! Saya belum pernah selama ini melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, disegani banyak kiai lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai lain; mengimami shalat jamaah, melakukan shalat-shalat sunah seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya. Mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar), mujahadah, dzikir malam, menemui tamu dan sebagainya. Kalau pun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali-mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu, tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu tinggal di ‘pesantren bambu’ saya mendapatkan kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam bulan purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang, tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi, saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tidak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita yang satu masih muda dan yang satunya agak lebih tua dengan dandanan menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ Tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan pikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser. ‘Kasih kawan saya ini tempat sedikit!’ Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya’. Mereka yang duduknya dekat serat merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah, sementara yang jauh melambaikan tangan.”
“Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba Kiai menawari, ‘Minum kopi ya?!’. Saya mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi, Yu!’ kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silahkan! Ini namanya Rondo Royal, tape goreng kebanggaan warung ini.’ Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian ayik kembali dengan kawan-kawannya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian, bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah.”
“‘Mas, sudah larut malam,’ tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. ‘Kita pulang yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, ‘Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja,’ katanya.”
“Kami melewati pematang, menerobos hutan dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang, saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita istirahat sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. ‘Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’ Setelah saya duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan. ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apa kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak usah bersusah payah mencari bukti yang menunjukan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan dari kalbumu yang bening. Kedua, kau ‘kan tahu, sebagaimana neraka dan surga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke surga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke surga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarmu ke surga kelak? Atau kau berani mengatakan orang-orang di warung yang tadi yang kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’ Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri mereka. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.’
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. ‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir, nyatanya saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar adzan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi suaru itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah shalat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, ‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya. Ketika saya mengiyakan orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini titipan dari Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’ ‘Beliau di mana?’ tanya saya buru-buru. ‘Mana saya tahu.’ jawabnya. ‘Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu di mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.’ Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri.”
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam dan tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.
KH. Musthafa Bisri