Follow me on Twitter RSS FEED

Pages

Tidak Jadi Masuk Islam

Posted in

Suatu hari seorang doktor dari Amerika sedang kebingungan mencari kebenaran tentang agama. Ia mencari ke sana kemari agama apakah yang paling benar. Ia bernama John Wiseman. Ia dilahirkankan dari keluarga Kristen. Meskipun keluarganya Kristen, tapi Ia tidak begitu yakin bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar. Oleh karena itu dia sedang dalam perjalanan mencari agama yang paling benar.
Dalam rangka mencari agama dia telah mengunjungi beberapa negara. Dan kebetulan sekarang dia berada di Indonesia. Sebagai seorang yang berintelektual tinggi, John lumayan mengetahui sejarah negara Indonesia yang dahulunya beragama Hindu dan Budha kemudian datang agama Islam.
Karena sekarang Indonesia mayoritas agama Islam, Ia sering kali mendengar suara adzan yang berkumandang lima kali sehari di mana-mana. Ia merasa bahwa adzan sangat indah untuk didengarkan. Oleh karena itu Ia tertarik mempelajari Islam terlebih dahulu. Ia langsung mencari informasi tentang Islam.
“Excusme, can you speak English, Sir?” [1] tanyanya kepada seseorang yang sedang menunggu bis di pinggir jalan.
“Yes, I can. Can I help you?” [2] jawabnya.
“My name’s John, John Wiseman. I came from America. And I wanna learn about Islam,[3] dari kata yang digunakannya terlihat dia orang Amerika.
“I think you should got to Cirebon city in West Java, and then you can find Babakan village. And there you can learn about Islam.” [4]
“Thank’s, Sir.”[5]
“You’re welcome.”
Ia mendapat informasi bahwa untuk mempelajari agama Islam Ia harus pergi ke Cirebon, tepatnya Babakan Ciwaringin Cirebon. Mendengar informasi itu, Ia langsung pergi ke tempat yang ditunjukan.
Sesampainya di Babakan, Ia langsung mencari guru yang tepat untuk mengajarkan Islam kepadanya. Bertemulah Ia dengan Ustadz Shidiq. Ustadz Shidiq adalah seorang ustadz yang sangat luas ilmunya. Setelah lulus sekolah tingkat aliyah di desa setempat, beliau melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo. Di samping beliau fasih bahasa Arab, beliau juga pandai bahasa Inggris. Oleh karena itu beliau bia dengan leluasa berbincang-bincang dengan John.
“Excusme, can you speak English, Sir?” tanya John kepada Ustadz Shidiq.
“Sure. What can I do for you, Mister?”[6] jawab Ustadz Shidiq yang kemudian beliau balik bertanya.
“I got an information that in here I can learn about islam. Is that true?[7]
“That is right.”[8]
“Okay, can you teach me?”[9]
“Of course, with plesure.”[10]
“Thank you very much. I’m John, by the way, John Wiseman. I came from America.”[11]
“Nice to meet you. My name is Shidiq, peoples called me Ustadz Shidiq.”[12]
"Alright, Ustadz Shidiq. When I can meet you again?"[13]
"What about tomorrow?"[14]
"That's a good idea."[15]
"By the way, where do you live now?"[16]
"I don't have place for live now, but i'll find it soon."[17]
"Well, you can live in my house."[18]
"Really?"[19]
"Yeah, with pleasure."[20]
"Thank you very much."[21]
"You're welcome."[22]
Setelah berkenalan, mereka berdua berjalan bersama menuju rumah Ustadz Shidiq. Sesampainya di rumah Ustadz Shidiq, John diperkenalkan dengan keluarga Ustadz Shidiq. Bagi John, keluarga Ustadz Shidiq sangat ramah. Mereka hidup bahagia meski pun ekonomi keluarga mereka tidak sebaik John di Amerika.
Keesokan harinya Ustadz Shidiq mulai mengajari John tentang Islam.
"Alright, John, this is your first time learn about Islam, but before, you must say 'syahadat'."[23]
"What is 'syahadat'?"[24]
"‘Syahadat’ is a two-sentence which is a requirement to convert to Islam."[25]
“Okay, what’s the first sentence?”[26]
“Reapet after me, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’.”[27]
“Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.”
“Good, Now you've officially become a Moslem. Congratulation.”[28]
“Thank You.”
"Now, what do you want to learn?"[29]
"The daily worship."[30]
“Okay, you got it,”[31]
Selanjutnya John belajar ibadah sehari-hari. Ustadz Shidiq mengajarinya secar detil, bahkan tata cara ibadah menurut madzahibul arba’ah pun beliau ajarkan kepadanya.
Sepintas apa yang dilakukan Ustadz Shidiq kepada John adalah benar, tapi ternyata tidak. Beliau melewatkan ilmu yang paling pokok dari segala ibadah, yaitu tauhid. Tidak ada gunanya seseorang beribadah tanpa mengenal apa yang mereka sembah, tidak tahu sifat wajib-Nya, sifat mustahil dan jaiz-Nya. Yang timbul hanyalah kehampaan dan kebingungan dalam hati mereka yang  tidak mengenal Tuhan mereka. Mereka pada akhirnya akan bertanya-tanya seperti apakah wujud Allah yang sebenarnya. Padahal pertanyaan seperti itu sangat dilarang dalam ilmu tauhid. Dan pada akhirnya imannya goyah. Dan itulah yang terjadi pada diri John Wiseman setelah tiga bulan menjadi murid Ustadz Shidiq.
Setiap malam John hanya berpikir bagaimana wujud Allah yang sesungguhnya. Di saat seperti itu Ia jadi teringat Tuhannya yang dulu. Memang salib sangat gampang dilihat. Tapi inilah yang perlu kita imani dalam hati. Meski pun kita belum bisa melihat Tuhan kita, tapi kita harus tetap percaya kepada-Nya. Karena Dia ada bersama kita di setiap hembus nafas kita.
Akhirnya, John Wiseman mengadukan keluhannya kepada Ustadz Shidiq.
“Ustadz Shidiq, I wanna say something.”[32]
“Okay, what’s that?”[33]
"After all these months, you teach me about Islam. And now I'm getting confused. Before I pray to God, I had to think first of which one should I choose. And it made ​​me more confused. And I decided to leave Islam and i'll search other religions easier to understand. Maybe this made your heart broke, but I've thought about it carefully, since the first time you teach me to say ‘shahadat’. I'm so sorry."[34]
Mendengar kata-kata John, Ustadz Shidiq membisu, beliau tidak bisa berkata apa-apa. Akhirnya beliau pun mengikhlaskannya.
Pelajarannya adalah siapa pun orangnya, apa pun gelar akademiknya, seberapa pun kuat tekadnya belajar Islam, yang pertama harus diajarkan adalah ilmu dasar, yaitu tauhid. Mengajarkannya pun harus dengan hati. Jangan sampai muallaf yang kita ajari mengalami kebingungan seperti John Wiseman yang akhirnya kembali kepada agamanya yang dulu.

Based On True Story



[1] “Permisi, apakah anda bisa bicara bahasa Inggris, Pak?”
[2] “Ya, saya bisa. Bisakah saya membantu anda?”
[3] “Nama saya John, John Wiseman. Saya berasal dari Amerika. Dan saya ingin belajar tentang Islam.”
[4] “Saya pikir anda harus pergi ke Cirebon di Jawa Barat, dan kemudian anda bisa menemukan desa Babakan. Dan disana anda bisa belajar tentang Islam.”
[5] “Terima Kasih, Pak.”
[6] “Tentu. Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, Tuan?”
[7]Saya mendapat informasi bahwa di sini saya dapat belajar tentang islam. Apakah itu benar?”
[8] “Itu benar.”
[9] “Baiklah. Bisakah kau mengajariku?”
[10] “Tentu saja, dengan senang hati.”
[11] "Terima kasih banyak. Ngomong-ngomong, nama saya John, John Wiseman. Saya datang dari Amerika.”
[12] "Senang bertemu denganmu. Nama saya Shidiq, masyarakat memanggil saya Ustadz Shidiq. "
[13] “Baiklah, Ustadz Shidiq. Kapan saya bisa menemui anda lagi?”
[14] “Bagaimana kalau besok?”
[15] “Ide bagus.”
[16] “Ngomong-ngomong, di mana anda tinggal sekarang?”
[17] “Saya belum punya tempat tinggal, tapi saya akan segera menemukannya.”
[18] “Nah, anda bisa tinggal di rumah saya.”
[19] “Benarkah?”
[20] “Ya, dengan senang hati.”
[21] “Terima kasih banyak.”
[22] “Sama-sama.”
[23] “Baiklah, John, ini kali pertamamu mempelajari Islam, tapi sebelumnya kau haus mengucapkan ‘syahadat’.”
[24] “Apa itu ‘syahadat’?”
[25] “’Syahadat’ adalah dua kalimat yang mana itu adalah syarat untuk masuk Islam.”
[26] “Baiklah, bagaimana kalimat pertamanya?”
[27] “Ikuti ucapanku, ‘Asyhadu alla ilaha allallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’.”
[28] “Bagus, sekarang kau sudah resmi masuk Islam. Selamat.”
[29] “Sekarang, apa yang ingin kau pelajari?”
[30] “Ibadah sehari-hari.”
[31] “Baiklah, kau mendapatkannya.”
[32] “Ustadz Shidiq, aku ingin mengatakan sesuatu.”
[33] “Apa itu?”
[34] “Setelah beberapa bulan ini, kau mengajariku tentang Islam. Dan sekarang aku semakin bingung. Sebelum aku beribadah kepada Tuhan, terlebih dahulu aku harus berpikir mazhab mana yang harus kupilih. Dan itu membuatku semakin bingung. Dan aku memutuskan untuk keluar dari Islam dan aku akan mencari agama lain yang lebih mudah dimengerti. Mungkin ini membuatmu sakit hati, tapi aku telah memikirkannya matang-matang, sejak pertama kali kau mengajariku mengucapkan ‘syahadat’. Aku sangat minta maaf.”

Karpet Sumbangan

Posted in

Suatu hari, pada tahun 2002, Pondok Pesantren Sabilun Najah mendapat sumbangan dari Depag (Departemen Agama) berupa dua gulungan karpet besar berukuran kurang lebih 100 mper satu karpet, cukup untuk mengalasi masjid pondok.
Dan ya, karpet itu digunakan sebagai alas di masjid Sabilun Najah. Selama kuarang lebih dua bulan, karpet itu belum mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Insiden pun terjadi pada bulan berikutnya.
Seperti halnya di pondok-pondok lain yang memiliki masjid, santri pondok Sabilun Najah pun sering tidur di masjid. Dan karena itulah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pada suatu malam Jum’at, ketika banyak santri tidur di masjid, ada seorang santri yang ngompol, atau lebih tepatnya kencing sambil tidur, dan celakanya air kencingnya mengenai karpet.
Seperti diketahui, air kencing adalah salah satu najis mutawasithah, maka keesokan harinya setelah terkena air kencing, karpet pun dicuci. Karena ukurannya yang besar, tidak cukup satu orang yang mengangkat karpet tersebut, dibutuhkanlah dua puluh orang untuk mengangkatnya. Dan tidak hanya itu, mencucinya pun butuh waktu yang lama, kurang lebih dua belas jam dari pagi sampai sore.
Setelah selesai, pada sore hari menjelang maghrib, karpet di jemur di tengah-tengah lapangan pondok yang memang cukup luas. Lagi-lagi sesuatu terjadi. Butuh waktu yang sangat lama untuk mengeringkan karpet tersebut. Kurang lebih setengah bulan menjemur, waktu yang dibutuhkan untuk membuat karpet kering sempurna.
Setelah kering, karpet dipasang kembali sebagai alas di masjid. Dan tragedi pun terulang. Karpet itu dikencingi lagi. Kambali para santri mencucinya dari pagi sampai sore. Dan dijemur lagi selama lima belah hari.
Supaya kejadian itu tidak terulang untuk ketiga kalinya, pengurus pondok pun rapat. Dan hasilnya, karpet harus disimpan di gudang mushalla sesepuh pesantren yang sudah meninggal sepuluh tahun lalu yang jarak dari pondok ke mushalla tersebut sekitar satu kilometer ke arah selatan.
Untuk beberapa bulan, karpet aman di gudang mushalla.
Tetapi muncullah santri yang sedikit iseng. Ia dan teman-teman sekamarnya ingin memberikan alas di kamar mereka. Dan mereka pun pada suatu malam sambil membawa gerobak, mereka pergi ke mushalla tersebut. Kemudian mereka memotong karpet hingga ukuran 16 m2.
Setelah kejadian itu, santri lain pun meniru. Dan sekarang karpet yang asalnya 100 m2 menjadi ukuran yang kecil-kecil, dari mulai ukuran 4x4 meter sampai 0,5x1 meter.

Supir Kejutan

Posted in

Akhirnya sampai juga di Jepara. Sekarang aku harus mencari pesantren yang tepat untuk mondok.
Setelah lama berkeliling kurasa aku menemukan pesantren yang tepat, namanya Pondok Pesantren Darun Faqih. Pondoknya besar, dan kata masyarakat sekitar pengasuh pondok ini sangat rendah hati meskipun beliau sangat kaya ilmu dan hartanya. Zaman sekarang sudah jarang ada kiai seperti itu. Kebanyakan kiai sekarang hanya mementingkan harta dari pada santri mereka sendiri. Mungkin ini kesempatan saya untuk mengambil barakah dari beliau.
Aku langsung menemui kiai di kediamannya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
“Kiai, nama saya Abdullah, saya mau mondok di sini.”
“O, silahkan. Kamu dari mana?”
“Cirebon, Kiai.”
“Jauh juga ternyata.”
“Mari, lihat-lihat pondok, untuk menentukan kamar yang kau sukai untuk ditinggali.”
“Kiai, kalau bisa, sambil belajar di pondok ini, saya juga ingin bantu-bantu di rumah Kiai. Apakah boleh?”
“Tentu saja boleh. Jarang-jarang ada santri sepert kamu Abdullah.”
“Terima kasih, Kiai.”
Ternyata benar yang dikatakan orang-orang, Kiai Saleh ini sangat rendah hati saat menerima tamu, walau pun tamunya hanya orang biasa seperti saya ini.
Setelah lihat-lihat pondok, aku menemukan tempat yang tepat untuk tinggal. Kamarnya dekat dengan masjid dan toilet. Ruangannya luas, nyaman untuk beristirahat. Udaranya pun sejuk, sangat nyaman untuk belajar dan menghafal. Dan orang-orangnya sangat ramah, sangat tepat untuk saling tukar menukar ilmu dan pengalaman. Sebenarnya tidak masalah untukku mau ditempatkan di kamar mana saja, tapi kalau disuruh memilih, tentu aku memilih kamar yang nyaman.
Keesokan harinya ada seorang santri yang kelihatannya mondoknya sudah lawas mencariku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
Apakah sampeyan Abdullah?”
“Iya, benar.”
“Saya disuruh Kiai untuk memanggil Mas ke rumahnya.”
“Baiklah, tunggu sebentar, Mas.”
Aku langsung berpakaian rapi untuk menemui Kiai. Tapi, ada apa Kiai memanggilku? Ah, jangan dipikirkan. Nanti juga aku tahu sendiri.
“Mas, ngomong-ngomong, nama Mas siapa?”
“Saya Ahmad, orang dalam Kiai.”
“Sudah berapa lama sampeyan mondok disini?”
“Kurang lebih lima belas tahun.”
“Wah, lama juga.”
Ketika sampai di kediaman Kiai, aku langsung ditemui Kiai.
“Abdullah, kamu bisa nyetir mobil nggak?” tanya Kiai kepadaku. Aku langsung kaget mendengarnya.
Alhamdulillah, saya bisa.”
“Kalau begitu kamu menjadi supir pribadi saya.”
“Memangnya tidak ada yang lain?” aku sedikit menolak, hanya basa-basi.
“Sebenarnya saya sendiri bisa nyetir, tapi saya sudah terlalu tua jadi pandangan saya sudah tidak fokus kalau melihat jalanan. Dan pembantu saya yang lain tidak ada yang bisa menyetir mobil.”
“Baiklah kalau begitu, dengan senang hati.”
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan senang sedikit kecewa. Sebenarnya bukan ini yang aku harapkan, tapi tak apalah, yang penting aku bisa mengambil barakah dari beliau.
Keesokan harinya Mas Ahmad kembali mencariku.
“Mas, sampeyan disuruh ke rumah Kiai.”
Ketika sampai Kiai menyuruhku mengantar beliau.
“Sekarang kamu antar saya ke Bumiayu, saya mau sillaturrahmi ke pondok Al-Hikmah, sudah lama saya tidak ke sana.”
Waduh!!! Aku langsung disuruh mengantar beliau ke Bumiayu. Sebenarnya aku sedang malas bepergian, tapi karena ini perintah dari Kiai, maka aku harus siap.
Aku menyetir mobil Kiai dengan sedikit canggung, bukan karena ini pertama kali aku menyetir mobil, tapi aku takut ditanya macam-macam. Takut ketahuan identitas asliku. Dan ternyata terjadi juga.
“Bapakmu kerja apa?” tanya Kiai yang membuat aku bingung menjawabnya.
“Mmm, petani Kiai,” aku terpaksa berbohong karena takut ketahuan idenitas asliku.
“Kamu belajar nyetir mobil dari mana?” tanya Kiai lagi.
“Dulu aku saya supir angkot,” aku terpaksa berbohong lagi.
“Jadi supir angkot bisa dapat SIM?”
Alhamdulillah, bisa.”
“Sebagai anak muda, caramu menyetir enak juga dan tidak ugal-ugalan. Supirku dulu sering menyetir ugal-ugalan.”
“Terima kasih, Kiai.”
Tak terasa kami sudah sampai di pondok Al-Hikmah. Untung saja aku hafal jalan dari Jepara ke Bumiayu, kalu tidak, bisa gawat. Sementara Kiai masuk ke pondok aku hanya menunggu di luar. Tak apa, kalau masuk ke dalam takutnya aku hanya membuat malu saja. Sambil menunggu tak ada salahnya berkeliling sebentar, jajan di warung dan sebagainya. Ada hikmahnya juga menjadi supir, apalagi supir kiai besar seperti Kiai Saleh.
“Ayo kita pulang, Abdullah,” tiba-tiba suara Kiai yang lembut mengagetkan lamunanku.
“Baik, Kiai,” jawabku singkat.
Di perjalanan pulang, kami mampir di warung nasi yang lumayan besar dan makanannya enak-enak. Kami pun makan bersama. Satu lagi hikmah yang bisa dipetik dari pekerjaan menjadi supir, yaitu menjadi lebih akrab dengan kiai.
“Kapan-kapan kalau saya mau pergi ke Bandung atau Jakarta, mampir ke rumah kamu ya.”
Sial, ternyata yang aku khawatirkan bisa terjadi juga. Ya sudah lihat nanti saja, kalau memang sudah harus bertemu mau gimana lagi.
Pada suatu hari Jum’at, jam sebelas siang, aku pergi ke sumur santri untuk mandi sunnah Jum’at. Setelah setelai aku berpakaian. Dan jam setengah dua belas aku baru berangkat ke masjid. Dan tiba-tiba seorang santri mengagetkanku.
“Mas, supir saja pakaiannya gaya,” katanya.
Memang untuk shalat Jum’at kali ini aku terlalu bergaya dengan mengenakan jas dan sarung “BHS”. Aku jadi malu.
“Ini pakaian pemberian tetangga, aku dikasih sebelum berangkat kesini,” dan aku berbohong lagi.
Sebenarnya pakaian ini memang punyaku, aku mengatakan demikian karena tidak mau sombong. Semoga Allah mengampuni omonganku. Amin.
Selama aku mondok di sini aku tidak hanya menjadi supir. Tapi juga menjadi tukang cuci mobil. Tapi, keistimewaannya adalah aku dibebaskan untuk mengambil makan di belakang rumah Kiai Saleh.
“Mas, dipanggil Kiai,” kata Mas Ahmad.
“Ada apa?” tanyaku.
“Gak tahu, Mas. Kayaknya sih disuruh nyupir.”
Aku langsung menuju kediaman Kiai Saleh. Ternyata benar apa yang dikatakan Mas Ahmad.
“Antar saya ke Bandung, tapi sebelumnya mampir dulu ke rumahmu. Kamu hafal jalannya ‘kan?”
“Hafal, Kiai.”
“Silahkan ke kamar dulu, siap-siap.”
Waduh!! Sial!! Harus dimampirkan ke mana Kiai Saleh ini. Mungkin ini sudah waktunya Kiai Saleh bertemu keluargaku.
Ketika sampai Cirebon, karena aku sudah capek berbohong, aku langsung menyusuri jalan menuju rumahku di desa Babakan Ciwaringin Cirebon.
“Lho, ini daerah pesantren?” kata Kiai keheranan.
Setelah sampai rumah, aku mempersilahkan Kiai masuk. Tapi, beliau masih heran karena yang beliau masuki adalah rumah Kiai Muhammad, salah satu kiai terkemuka di daerah setempat.
Sebenarnya aku adalah putra Kiai Muhammad. Aku sengaja menyembunyikan identitasku supaya aku bisa merasakan bagaimana rasanya hidup sebagai seorang pembantu kiai. Dan sekarang aku sudah tahu rasanya.
“Kiai, ini ayah saya, Kiai Muhammad,” aku memperkenalkan ayahku kepada Kiai Saleh yang ternyata mereka berdua sudah saling kenal.
“Jadi, anakku Abdullah mondok di pondok sampeyan,” ayahku kaget setelah mendengar cerita dari Kiai Saleh.
“Benar, dan anakmu luar biasa, dia tidak sombong kepada santri-santri lain karena dia anak kiai besar. Ngomong-ngomong kenapa sampeyan tidak tahu di mana anak sampeyan mondok?” tanya Kiai Saleh kepada ayahku.
“Aku tidak tahu karena dia bilang dia ingin berkelana sambil mondok di suatu tempat,” jawab ayahku.
“Pantas saja.”
Sementara mereka berdua asyik berbincang-bincang, aku minta diri kepada ayahku untuk menemui adik-adikku tercinta. Aku sudah kangen kepada mereka.
“Mas, maaf saya harus cepat pergi, saya ada urusan di Bandung dan sekarang saya harus ke sana,” kata Kiai Saleh mengakhiri obrolan.
“Kalau begitu silahkan, semoga selamat di jalan.”
“Sebelumnya saya minta maaf menjadikan anak sampeyan supir.”
“Tidak apa-apa, saya malah senang karena dengan membantu kiai lain anak saya menjadi tidak sombong.”
“Wassalamualaikum.”
“Walaikum Salam.”
Setelah Kiai Saleh yang berpamitan kepada ayahku, kini giliranku. Setelah pamit, aku meminta maaf kepada Kiai Saleh.
“Kiai, maafkan saya karena saya banyak berbohong kepada Kiai.”
“Tidak apa-apa, saya malah senang punya santri seperti kamu.”
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Bandung dan kembali ke Jepara.
Setelah Kiai Saleh bertemu keluargaku, kehidupanku di pondok menjadi sedikit berubah. Biasanya aku mengambil makananku sendiri, sekarang malah makanannya diantarkan kepadaku.

April Mop: Hari Dimana Umat Islam Dibantai

Posted in

1 April sebagai hari April Mop. April Mop sendiri adalah hari di mana orang-orang diperbolehkan menipu dan berbohong kepada orang lain. Tapi tahukah Anda apakah April Mop itu sebenarnya?

Sejarah April Mop

Sebenarnya, April Mop adalah sebuah perayaan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib yang dilakukan lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka.
Biasanya orang akan menjawab bahwa April Mop—yang hanya berlaku pada tanggal 1 April—adalah hari di mana kita boleh dan sah-sah saja menipu teman, orangtua, saudara, atau lainnya, dan sang target tidak boleh marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran April Mop. Biasanya sang target, jika sudah sadar kena April Mop, maka dirinya juga akan tertawa atau minimal mengumpat sebal, tentu saja bukan marah sungguhan.
Walaupun belum sepopuler perayaan tahun baru atau Valentine's Day, budaya April Mop dalam dua dekade terakhir memperlihatkan kecenderungan yang makin akrab di masyarakat perkotaan kita. Terutama di kalangan anak muda. Bukan mustahil pula, ke depan juga akan meluas ke masyarakat yang tinggal di pedesaan. Ironisnya, masyarakat dengan mudah meniru kebudayaan Barat ini tanpa mengkritisinya terlebih dahulu, apakah budaya itu baik atau tidak, bermanfaat atau sebaliknya.
Perayaan April Mop berawal dari suatu tragedi besar yang sangat menyedihkan dan memilukan? April Mop, atau The April's Fool Day, berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 M, atau bertepatan dengan 892 H.
Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Perancis. Perancis Selatan dengan mudah dibebaskan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walaupun sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah barat yang berupa pegunungan. Islam telah menerangi Spanyol.
Karena sikap para penguasa Islam yang begitu baik dan rendah hati, banyak orang-orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan saja beragama Islam, namun sungguh-sungguh mempraktikkan kehidupan secara Islami. Tidak saja membaca Al-Qur'an, namun bertingkah-laku berdasarkan Al-Qur'an. Mereka selalu berkata tidak untuk musik, bir, pergaulan bebas, dan segala hal yang dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya.
Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun selalu gagal. Maka dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam Spanyol.
Akhirnya mereka menemukan cara untuk menaklukkan Islam, yakni dengan pertama-tama melemahkan iman mereka melalui jalan serangan pemikiran dan budaya. Maka mulailah secara diam-diam mereka mengirimkan alkohol dan rokok secara gratis ke dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari daripada membaca Al Qur'an. Mereka juga mengirimkan sejumlah ulama palsu untuk meniup-niupkan perpecahan ke dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan hasil.
Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan salib. Penyerangan oleh pasukan salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang dibantai, tetapi juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua. Satu-persatu daerah di Spanyol jatuh.
Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri. Tentara-tentara salib terus mengejar mereka. Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara salib mengetahui bahwa banyak muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah. Dengan lantang tentara salib itu meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar Spanyol dengan membawa barang-barang keperluan mereka.
Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Namun beberapa dari orang Muslim diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah disediakan, mereka pun segera bersiap untuk meninggalkan Granada dan berlayar meninggalkan Spanyol.
Keesokan harinya, ribuan penduduk muslim Granada keluar dari rumah-rumah mereka dengan membawa seluruh barang-barang keperluan, beriringan berjalan menuju ke pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai pasukan salib, memilih bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumah mereka. Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara salib menggeledah rumah-rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika mereka membakari rumah-rumah tersebut bersama dengan orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.
Sedang ribuan umat Islam yang tertahan di pelabuhan, hanya bisa terpana ketika tentara salib juga membakari kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang para tentara salib telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.
Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara salib segera membantai umat Islam Spanyol tanpa rasa belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia kristen setiap tanggal 1 April sebagai April Mop (The April's Fool Day). Pada tanggal 1 April, orang-orang diperbolehkan menipu dan berbohong kepada orang lain. Bagi umat kristiani, April Mop merupakan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekedar hiburan atau keisengan belaka.
Bagi umat Islam, April Mop tentu merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari di mana ribuan saudara-saudaranya se-iman disembelih dan dibantai oleh tentara salib di Granada, Spanyol. Sebab itu, adalah sangat tidak pantas juga ada orang Islam yang ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Siapapun orang Islam yang turut merayakan April Mop, maka ia sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembunuhan massal ribuan saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, 5 abad silam.
Jadi, perhatikan sekeliling Anda, anak Anda, atau Anda sendiri, mungkin terkena bungkus jahil April Mop tanpa kita sadari. (sa/berbagaisumber)

http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/april-mop-hari-dimana-umat-islam-dibantai.htm
http://manciwaringin.sch.id/mancwn/berita-155-april-mop-hari-dimana-umat-islam-dibantai.html

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU MAN BABAKAN CIWARINGIN KAB. CIREBON TAHUN PELAJARAN 2012 / 2013

Posted in
A.    JALUR PENDAFTARAN
MAN Babakan Ciwaringin Kab. Cirebon tahun pelajaran 2012 / 2013 membuka pendaftaran calon siswa baru dengan 2 (dua) jalur, yaitu :
1.    Kelas Reguler
2.    Kelas Fullday (Unggulan)
B.    PERSYARATAN PENDAFTARAN
1.    Mengisi formulir yang telah disediakan, kemudian diserahkan kembali kepada panitia pendaftaran.
2.    Menyarahkan fotocopy STTB / Ijazah SMP /MTs /Paket B yang telah dilegalisir 1 (satu) lembar.
3.    Menyerahkan SKHUN / Daftar Nilai Ujian Nasional yang asli dan 1 (satu) lembar fotocopy yang telah dilegalisir.
4.    Pas photo berwarna ukuran 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar .
5.    Mengikuti wawancara dan tes tulis.
6.    Menyerahkan fotocopy Piagam / Sertifikat prestasi akademik / nonakademik (jika ada).
7.    Pendaftar harus datang sendiri berpakaian seragam sekolah asal.
C.    WAKTU DAN TEMPAT PENDAFTARAN
1.    Waktu pendaftaran:
a.    Kelas regulaer mulai tanggal 25 Juni 2012 s.d. 02 Juli 2012.
•    Senin – Sabtu         : Pukul 08.00 s.d. 13.00 WIB
•    Jum’at            : Pukul 08.00 s.d. 11.00 WIB
•    Minggu            : LIBUR
b.    Kelas Unggulan Fullday mulai tanggal 9 April 2012 s.d. 5 Mei 2012.
(informasi lebih lanjut dapat dilihat atau ditanyakan langsung ke secretariat Kelas Unggulan Fullday.)
2.    Tempat pendaftaran:
MAN Model Babakan Ciwaringin Kab. Cirebon
Jl. Desa Babakan Ciwaringin Kab. Cirebon Telp. / Fax. (0231) 342187
3.    Wawancara dilakukan pada saat mendaftar.
4.    Tes tulis dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 04 Juli  2012 pukul 08.00 s.d 10.00 WIB.
5.    Pengumuman hasil seleksi : Sabtu, 07 Juli 2012 pukul 10.00 WIB.
6.    Daftar ulang yang diterima : 08 Juli 2012 s.d 12 Juli 2012 pukul 08.00 s.d. 13.00 WIB.

Gus Jakfar

Posted in
Di antara putra-putra Kiai Saleh, pengasuh pesantren “Sabilul Muttaqin”, dan sesepuh daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga keluar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi memerlukan showan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh.
    Kata Kang Solikin yeng dekat dengan keluarga (ndalem), bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu ini. “Kata Kiai, Gus Jakfar lebih tua dari pada beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putra bungsu Kiai Saleh itu.
    “Saya sendiri tidak paham apa maksudnya. Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho, sekali saja melihat kening orang, kok langsung bisa membaca rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang Sabrang ‘kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang melamar ya ?’. Tak lama kemudian orang Sabrang itu datang melamarnya.”
    “Kang Kandar juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet. “Kalian ‘kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”
    “Ya, waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil. “Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
    “Saya malah mengalaminya sendiri,” kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. “Waktu itu tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang sama saya, ‘Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol, sudah dapat proyek ya?’ Padahal saat itu saku saya sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat provinsi.”
    “Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf ?” tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar, takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
Maka ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger, terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tidak mau membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat berbau ramalan. Ringkas kata, beliau dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan.
“Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau? Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu,” kata Lik Salamun. “Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau berubah”.
“Tapi, bagaimana pun ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil. “Paling tidak kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was, bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum’at sehabis wiridan shalat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban dengan Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol kesana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan.
“Gus, di samping sillaturrahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan siakp sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan ‘kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet. “Kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya dia melanjutkan.
“Ceritanya panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. “Kalian ingat, saya lama menghilang?” Akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk.
“Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari wali seorang sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar dua ratus kilo meter ke arah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya lebih dari seratus tahun itu. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerahnya masing-masing.”
“Terus terang, sejak mimpi itu saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Kiai Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk.
‘Cobalah nak mas ikuti jalan setapak di sana itu,’ katanya. ‘Nanti nak mas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nak mas menyeberang. Begitu sampai seberang, nak mas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nak mas cari akan nak mas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nak mas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nak mas sebut Kiai siapa tadi?’ ‘Kiai Tawakkal.’ ‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itu orangnya, Mbah Jogo.’”
“Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah dari bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya saja ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi ‘Ahli Neraka’. Astagfirullah! Saya belum pernah selama ini melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, disegani banyak kiai lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai lain; mengimami shalat jamaah, melakukan shalat-shalat sunah seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya. Mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar), mujahadah, dzikir malam, menemui tamu dan sebagainya. Kalau pun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali-mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu, tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu tinggal  di ‘pesantren bambu’ saya mendapatkan kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam bulan purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang, tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi, saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tidak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita yang satu masih muda dan yang satunya agak lebih tua dengan dandanan menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ Tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan pikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser. ‘Kasih kawan saya ini tempat sedikit!’ Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya’. Mereka yang duduknya dekat serat merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah, sementara yang jauh melambaikan tangan.”
“Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba Kiai menawari, ‘Minum kopi ya?!’. Saya mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi, Yu!’ kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silahkan! Ini namanya Rondo Royal, tape goreng kebanggaan warung ini.’ Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian ayik kembali dengan kawan-kawannya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian, bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah.”
“‘Mas, sudah larut malam,’ tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. ‘Kita pulang yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, ‘Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja,’ katanya.”
“Kami melewati pematang, menerobos hutan dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang, saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita istirahat sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. ‘Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’ Setelah saya duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan. ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apa kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak usah bersusah payah mencari bukti yang menunjukan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan dari kalbumu yang bening. Kedua, kau ‘kan tahu, sebagaimana neraka dan surga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke surga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke surga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarmu ke surga kelak? Atau kau berani mengatakan orang-orang di warung yang tadi yang kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’ Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri mereka. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.’
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. ‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir, nyatanya saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar adzan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi suaru itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah shalat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, ‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya. Ketika saya mengiyakan orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini titipan dari Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’ ‘Beliau di mana?’ tanya saya buru-buru. ‘Mana saya tahu.’ jawabnya. ‘Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu di mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.’ Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri.”
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam dan tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

KH. Musthafa Bisri

Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...