Posted in
Cerpen
Setiap
hari, aku terus memperhatikannya. Wanita yang jadi pujaan hatiku. Baru kali ini
aku menemukan wanita secantik dia. Baru kali ini pula aku merasakan jatuh
cinta. Memang semenjak aku masuk sekolah dasar sampai sekolah menengah atas aku
tidak pernah merasakan cinta. Kalau pun pernah hanya cinta yang tidak
sesungguhnya alias cinta monyet. Tapi sekarang setelah aku masuk IAIN[1]
Cirebon aku merasakan cinta yang sesungguhnya.
Wanita
itu bernama Azizah. Ia lulusan pondok di daerah Ciamis. Selain parasnya yang
memang rupawan, ketika membaca Al-Qur’an suaranya merdu layaknya Qori’ah
internasional.
Aku
pun berencana menyatakan cinta kepadanya. Tentu aku berharap dia mau menerima
cintaku. Kususun planning untuk
menyatakan cinta kepadanya. Rencananya besok aku akan menemuinya di Mushalla
IAIN Cirebon setelah shalat Ashar. Oke, mungkin itu akan berhasil. Semoga.
Malam
ini aku tidur dengan perasaan harap-harap cemas. Yah, aku terus memikirkan
apakah Azizah mau menerima cintaku atau tidak. Tapi aku optimis dia akan
menerima cintaku. Aku optimis karena dia memang teman baikku.
Tepat
pukul empat pagi aku bangun dari tidur tak nyenyakku. Aku langsung mandi supaya
segar. Rasulullah mengajarkan bahwa mandi pagi membuat tubuh menjadi sehat,
tidak hanya mandi tapi juga dilengkapi dengan minum air sejuk (bukan air es).
Setelah
shalat shubuh berjamaah aku membaca Al-Qur’an. Dan sedikit membaca wirid
seperti ratib dan sebagainya. Dan tepat jam tujuh pagi aku berangkat ke kampus
IAIN Cirebon.
Sesuai
jadwal yang kubuat sendiri aku menuju mushalla untuk menjalankan ibadah shalat
Ashar dan setelah itu menemui Azizah. Sekarang aku sudah benar-benar siap.
Aku
menghampiri Azizah yang kebetulan sedang berjalan sendirian.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
Salam.”
“Emm,
aku mau mengatakan sesuatu. Tapi bingung harus mulai dari mana.”
“Mau
bilang apa sih.”
“Setelah
selama ini hubungan kita adalah teman, aku ingin lebih dari itu.”
“Maksudnya
?”
“Aku
mencintaimu dan aku ingin kita berpacaran.”
Azizah
terdiam. Aku pun diam menunggu jawaban darinya.
“Maaf,
Mas Agus. Aku tidak bisa berpacaran denganmu.”
“Kenapa
?” tanyaku kecewa
“Aku
tidak bisa menyebutkan alasannya. Aku hanya tidak ingin berpacaran denganmu.”
Mendengar
jawaban dari Azizah, hatiku remuk seperti dipukul oleh benda yang sangat keras.
Aku tidak tahu mengapa dia tega memperlakukanku seperti itu. Padahal kami
adalah teman baik. Teman yang sangat dekat.
Aku
pulang ke pondok dengan hati hancur berkepi-keping. Malangnya nasibku ini.
Cintaku ditolak oleh wanita yang sangat kucintai. Aku menjadi tidak ingin
melakukan apa-apa selain melamun di depan lemari tercinta. Lemari yang berisi
barang-barang pribadiku.
Hari-hariku
kulalui dengan perasaan gelisah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Pikiranku
tidak karuan. Aku pun jadi sering meninggalkan shalat berjamaah yang biasanya
aku lakukan setiap hari, baik di masjid pondok atau di mushalla kampus.
Suatu
hari, pulang dari kampus melewati Maqbaroh KH. Hannan di salah satu komplek
pemakaman desa Babakan Ciwaringin Cirebon. Aku pun masuk dan langsung membaca
tahlil kemudian berdo’a. Dalam doaku aku selalu meminta
petunjuk kepada Allah apa yang harus aku lakukan. Setelah selesai hatiku
menjadi lebih tenang.
Hari
berikutnya, aku kembali berziarah ke Maqbaroh KH. Hannan. Hatiku pun kembali
menjadi tenang. Dan akhirnya setiap pulang dari kampus aku tidak melewatkan
berziarah ke Maqbaroh KH. Hannan. Dan seperti biasa setelah ziarah hatiku
menjadi tenang. Dengan perlahan, aku dapat melupakan Azizah.
Pada suatu hari, saat ziarah aku bertemu seorang tukang
servis komputer. Penampilannya biasa tapi akhlaknya luar biasa. Dia banyak
bercerita tentang pengalaman hidupnya yang penuh motivasi. Kami banyak bertukar
cerita. Aku pun menceritakan pengalamanku dengan Azizah. Dia bilang bahwa kegagalan
adalah kemenangan yang tertunda meskipun dalam hal yang berbeda.
Kemudian dia memberi e-book[2]
berjudul “7 Keajaiban Rezeki” karangan Ippho Santoso kepadaku. Aku pun
menerimanya. Setelah sampai di pondok aku langsung membuka e-book
tersebut. Buku ini berisi tentang cara-cara menambah rezeki dan merubah nasib
dalam 99 hari. Dan aku membaca dengan teliti. Karena mengantuk, setelah selesai
bab pertama aku lanjutkan membaca besok.
Bab kedua berjudul Sepasang Bidadari. Kubaca dengan
teliti setiap kalimatnya. Yang dimaksud “Sepasang Bidadari” adalah orang tua
dan pasangan (istri atau suami). Di situ diterangkan bahwa untuk menambah rezeki
dan merubah nasib maka kita harus meminta maaf kepada “sepasang bidadari”
tersebut. Karena aku belum mempunyai pasangan, maka aku hanya meminta maaf
kepada orang tuaku saja.
Di situ diterangkan bahwa kita harus meminta maaf kepada
orang tua kita sampai mereka memaafkan kita sampai kesalahan terkecil kita. Aku
langsung menelpon orang tuaku dan langsung meminta maaf kepada mereka. Aku
meminta maaf sambil menangis tersedu-sedu. Demikian juga orang tuaku. Kami pun
sama-sama menangis. Setelah itu orang tuaku memaafkan semua kesalahanku. Alhamdulillah.
Hatiku menjadi lega.
Diterangkan pula bahwa kita harus memperbanyak amal
ibadah kita kepada Allah dan manusia tentunya. Memperbanyak bukan berarti
menambah ibadah dengan yang belum kita lakukan, tetapi cukup dengan
meningkatkan dan mengistiqomahkan amal ibadah yang biasa kita lakukan.
Seperti kita jarang sholat sunnah rawatib[3]
maka kita harus melakukannya. Demikian juga shadaqah kita harus
memperbanyaknya. Alhamdulillah sedikit demi sedikit aku bisa
melakukannya.
Tahap selanjutnya yaitu doaku dan orang tuaku harus sama.
Biasanya orang tua hanya mendoakan hal yang umum saja kepada anak, seperti
anaknya menjadi sukses dan sebagainya. Kalau seperti itu tentu belum jelas sukses yang seperti apa
yang diharapkan. Nah, berhubung sekarang aku sangat menginginkan kendaraan
untuk kuliah, aku langsung menyampaikannya kepada orang tuaku. Mengingat surga
ada di bawah telapak kaki ibu, aku terlebih dahulu menelpon ibuku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
“Bu, aku sekarang ‘kan kuliah, aku ingin kendaraan untuk
kelancaran kuliahku. Tolong ibu doakan supaya dapat membeli kendaraan.”
“Tentu saja anakku, ibu selalu mendoakan yang terbaik
untukmu.”
“Terima kasih, bu. Tapi untuk kali ini ibu mengkhususkan
doa ibu supaya aku bisa punya kendaraan.”
“Baiklah anakku, segala yang kau inginkan akan ibu
lakukan.”
“Terima kasih, ibuku tercinta.”
“Sama-sama, anakku tercinta.”
Setelah menelpon ibuku aku menelpon ayahku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
“Pak, aku ingin membeli kendaraan untuk kelancaran
kuliah.”
“Kenapa tidak bilang dari dulu ?”
“Memangnya kenapa ?”
“Bapak baru saja membeli kolam ikan baru untuk kebutuhan
usaha bapak. Dan sekarang uang bapak sudah habis.”
“Ya sudah, aku tidak akan memaksa.”
“Wassalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
Kuakhiri percakapan bersama ayahku dengan perasaan
kecewa. Tapi aku tidak akan menyerah dan terus yakin dan berdoa.
Beberapa hari kemudian ayahku menelponku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.”
“Gus, kalau ingin membeli kendaraan, beli motor saja.”
“Lho, bapak dapat uang dari mana.”
“Begini, dulu sewaktu bapak masih muda teman bapak yang
anak seorang pengusaha menitipkan uang sebesar sembilan puluh juta kepada
bapak. Dan kemarin bapak menelponnya dan dia bilang kalau bapak butuh apa-apa
pakai saja uang itu dulu.”
“Alhamdulillah, terima kasih, pak,” tukasku sambil
menitikkan air mata.
“Sama-sama anakku, apapun akan kulakukan untukmu.”
Mungkin inilah tanda kebesaran Allah. Allah mempunyai
sifat Ar-Rahman yang artinya Maha Pemurah bagi seluruh makhuk-Nya di
dunia, baik itu orang muslim atau orang kafir. Dan itu terbukti padaku. Alhamdulillah
Ya Allah. Aku langsung sujud syukur sambil tak hentinya mulutku memuji Allah.
Keesokan harinya ayahku mentransfer uang sebesar dua
puluh juta. Uang itu aku belikan motor seharga empat belas juta. Sisanya aku
tabungkan untuk keperluanku di masa depan.
“Kegagalan adalah kemenangan yang tertunda meskipun dalam
hal yang berbeda,” tukang servis komputer itu mengatakannya kepadaku. Dan dia
sangat benar. Diawali dengan ditolaknya cintaku oleh Azizah yang kemudian
berubah menjadi keberhasilanku membeli motor. Asalkan kita yakin dan rajin
berdoa maka kita akan berhasil. Seperti pepatah Arab mengatakan, “Man Jadda
Wajada”, orang yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kegagalan itu
kuanggap sebagai surat cinta dari Allah.
Selesai hari Senin, 30 April 2012,
Pukul 02.15 WIB,
Di Bandung